Sunday, November 2, 2008

Dari Utusan Manusia Menjadi Utusan Tuhan …


Mohon maaf, jika tulisan ini agak sulit untuk dikategorikan. Saya pun bingung harus mengatakan tulisan ini sebagai tulisan macam apa, tapi saya lebih senang mengatakan tulisan ini adalah semacam tulisan yang sedang mencari makna atas kehidupan. Dan saya yakin, anda pun bisa membuat tulisan semacam ini.
Bolehlah kita mulai….

Utusan Manusia
Sementara itu berkobar-kobar hati Saulus untuk mengancam dan membunuh murid-murid Tuhan. Ia menghadap Imam Besar, dan meminta surat kuasa dari padanya untuk dibawa kepada majelis-majelis Yahudi di Damsyik, supaya, jika ia menemukan laki-laki atau perempuan yang mengikuti Jalan Tuhan, ia menangkap mereka dan membawa mereka ke Yerusalem (Kis. 9:1-2)

Pertama-tama, saya ingin mengajak anda mengenal lebih dekat sosok Paulus. Barangkali anda lebih tahu siapa Paulus ini, dan memang seperti yang telah kita tahu, sebelum bertobat, Paulus (Saulus) adalah seorang Utusan Kekaisaran Romawi. Dengan penuh ambisi, ia mencari-cari orang yang mengikuti ajaran Tuhan Yesus untuk ditangkap dan dianiaya karena dianggap sebagai sekte yang meresahkan masyarakat kala itu dan bisa membahayakan pemerintahan Romawi. Bahkan ia pun menganggap penangkapan ini sebagai sesuatu yang legal, resmi dari pemerintahan Romawi dengan surat kuasa khusus. Sebagai seorang utusan, ia memiliki dedikasi dan pengabdian yang hebat. Hatinya yang berkobar-kobar menunjukkan semangat pengabdian akan tugas yang ia senangi. Barangkali dia sudah merasa nyaman dengan aneka tugas perutusan yang ia emban.
Tugas perutusan yang membutuhkan kesetiaan diri semacam ini kerap kali kita alami ketika kita mendapat jatah untuk terlibat aktif dalam organisasi, lembaga, kepanitiaan, dsb. Di Seminari Tinggi St. Paulus Yogyakarta kami dididik untuk menjalankan segala tugas dan tanggung jawab yang dipercayakan kepada kami sebagai tugas perutusan untuk melayani umat secara total. Maka sudah dibiasakan untuk melakukan tugas harian di Seminari dengan sepenuh hati, seperti menyapu, mengepel unit, mencuci piring, dsb. Untuk tugas keluar pun juga demikian. Pernah suatu saat saya dan ketiga teman frater bertugas mengajar di SD Kanisius Babadan, sebuah SD yang terletak cukup jauh dari Seminari tempat kami tinggal. Kebetulan, saat itu tidak ada sepeda motor yang bisa dipakai. Dalam benakku sendiri terbayang bagaimana nasib siswa-siswa yang akan kami ajar bila kami tidak datang. Maka dengan ‘ambisi’ positif untuk dapat mengajar, kami memutuskan untuk bersepeda saja. Di tengah jalan hujan pun turun. Mengingat waktunya sangat mepet, kami tetap meneruskan laju sepeda kami. Dan seperti dalam dongeng anak-anak, kami berusaha menunjukkan perjuangan hebat kami untuk tetap mengajar, bahkan dalam situasi sulit sekalipun.
Hal semacam ini saya katakan sebagai semacam tugas atau lebih tepatnya utusan dari dan untuk manusia, yaitu melakukan tugas perutusan dengan penuh dedikasi untuk orang lain, dengan penuh kerelaan dan pengabdian diri yang besar. Saulus menjadi contoh yang baik dalam melaksanakan kesetiaan tugas manusia ini, hanya sikap dan tujuannya yang perlu mendapat perhatian lebih. Banyak hal yang bisa dilakukan manusia untuk mengutus sesamanya sendiri. Dalam kehidupan sehari-hari hal ini akan tampak dalam perkara-perkara yang kompleks. Hanya saja kelemahannya, manusia masih bisa kompromi dalam menjalankan tugas ke-manusia-annya. Bila muncul perasaan malas, berbenturan dengan kepentingan lain, biasanya manusia akan lebih mudah untuk menghindar dari tugas perutusannya.
Bagaimana bila yang mengutus adalah Tuhan sendiri? Ada baiknya bila kita mengikuti alur dari kisah Paulus yang satu ini…

Mengalami Tuhan
Ia rebah ke tanah dan kedengaranlah olehnya suatu suara yang berkata kepadanya: "Saulus, Saulus, mengapakah engkau menganiaya Aku?" Jawab Saulus: "Siapakah Engkau, Tuhan?" Kata-Nya: "Akulah Yesus yang kauaniaya itu. Tetapi bangunlah dan pergilah ke dalam kota, di sana akan dikatakan kepadamu, apa yang harus kauperbuat." (Kis. 9:4-6)

Satu hal yang (mungkin) bisa membuat seseorang berniat untuk mengubah sikap hidupnya 180 derajat adalah pengalamannya berjumpa dengan Tuhan. Bagaimana perjumpaan itu dialami, itu adalah urusan orang itu sendiri dengan Tuhan. Apakah orang lain dituntut untuk percaya atau tidak, itu bukan menjadi masalah yang mendasar. Yang penting ada ‘sesuatu’ yang dialami seseorang akan pengalamannya berjumpa dengan Tuhan. Tidak ada rumusan yang pasti perihal ciri-ciri pengalaman berjumpa dengan Tuhan. Saya yakin setiap orang punya cara sendiri-sendiri. Barangkali ada yang merasakan Tuhan menyentuh orang itu dengan lembut, semisal saat sedang berdoa dalam keheningan, Tuhan terasa hadir menemani, membuat teguh perasaan yang tenang dan damai. Ada nikmat ketenteraman yang dirasakan. Namun ada juga yang mengalami perjumpaan Tuhan melalui cara-cara yang keras. Orang merasa dipukul atau diberi cobaan berat dari Tuhan, seolah-olah segala pikiran dan perasaan tak kuasa menahan beratnya beban yang dirasakan. Orang cenderung bertanya-tanya “Tuhan, apa yang Kau mau atas hidupku? Mengapa aku mendapat beban yang sedemikian berat? …”, dsb. Dan tentu anda masih punya banyak jenis pengalaman lain berjumpa dengan Tuhan sesuai penghayatan dan pengalaman anda.
Paulus, seperti yang telah dikisahkan, berjumpa dengan Tuhan sewaktu menjalankan tugasnya sebagai utusan manusia untuk mengejar dan menganiaya pengikut Kristen awal. Perjumpaannya dengan Tuhan tidak mulus-mulus amat. Bukan perjumpaan yang menenteramkan, tapi suatu perjumpaan luar biasa yang mengesankan. Dia jatuh dari kuda, mendengar seruan Tuhan, lalu matanya buta. Inilah titik penting dia memulai tugas perutusan dari Tuhan. Segera setelah mendapat penampakan, Paulus mendapatkan pula tugas perutusan Tuhan yang pertama, yaitu pergi ke dalam kota. Proses berjumpa dengan Tuhan, seperti yang dialami Paulus ini, boleh jadi ditempatkan sebagai proses untuk memulai perutusan Tuhan. Bagaimanapun juga bila kita menyadari Tuhan telah mengutus kita, maka hal ini pun mengandaikan kita mengalami juga perjumpaan dengan Tuhan sebelumnya.
Pernah suatu saat saya pulang dari latihan koor bersama teman-teman alumni SMA. Ketika saya hendak pulang ke Seminari, saya diberi dus yang berisi makanan, pesannya untuk teman-teman di asrama. Ya saya terima saja. Ketika naik motor, di perhentian lampu merah, ada sekelompok pengamen dan pengelap kendaraan yang berpakaian lusuh sedang berdendang dan mengelap motor dan mobil yang sedang berhenti. Berulangkali mereka mengulurkan tangan ke para pengendara, berharap mendapatkan sekeping uang untuk meyambung hidup. Ketika mata salah seorang pengamen menuju ke arahku, tiba-tiba saja muncul perasaan seperti riak-riak getaran hati yang menderu. Entah mengapa aku merasa ada dorongan kuat untuk memberikan bungkusan dus makanan tadi kepada mereka. Maka tanpa basa-basi, aku langsung menawari mereka, dan mereka mau. Sekantong plastik berisi dus makanan tadi kuberikan semua kepada mereka, sambil berkata dalam hati “Ah, teman-temanku di asrama sangat mudah mendapatkan makan, tidak seperti teman-temanku yang di sini sekarang, apa salahnya aku berikan semua untuk mereka?”. Mereka pun merasa gembira dan berulangkali mengucapkan kata matur nuwun, mas… (terima kasih mas…).
Memang aku tidak mendengar langsung Tuhan yang menyuruhku untuk memberikan dus tadi, tapi bagiku ketika ada dorongan kuat dan hatiku bergetar hebat untuk memberikan dus itu, aku pun meyakini bahwa Tuhan sendiri yang mengutusku untuk memberikan dus itu. Hal ini terjadi saat aku melihat keadaan mereka. Ya, hanya melalui melihat saja, aku sudah merasa mengalami perjumpaan dengan Tuhan. Di dalam diri mereka lah ada Tuhan yang hidup.

Utusan Tuhan
Tetapi firman Tuhan kepadanya (Ananias): "Pergilah, sebab orang ini (Saulus) adalah alat pilihan bagi-Ku untuk memberitakan nama-Ku kepada bangsa-bangsa lain serta raja-raja dan orang-orang Israel. Aku sendiri akan menunjukkan kepadanya, betapa banyak penderitaan yang harus ia tanggung oleh karena nama-Ku."
(Kis. 9:15-16)
Ananias, seorang Kristen awal yang sudah tinggal di Damsyik mendapat penampakan Tuhan. Dalam penampakaannya, ia diminta Tuhan untuk menemui Saulus yang masih buta. Ananias diutus Tuhan untuk menyembuhkan kebutaan Saulus. Pertama dia ragu dan takut sekali karena Saulus sangat terkenal kejam menganiaya orang Kristen, namun karena Tuhan sendiri yang mengutus, dia pun rela berangkat untuk menyembuhkan Saulus. Tuhan pun memiliki maksud untuk mengangkat Saulus menjadi utusanNya sendiri dalam mewartakan Kabar Sukacita ke berbagai segala bangsa. Tampak dalam kutipan Kisah Para Rasul di atas, Tuhan akan menjadikan Saulus sebagai UtusanNya yang harus banyak mengalami penderitaan. Semenjak ia menjadi pewarta Kabar Sukacita, namanya pun kerap disebut sebagai Paulus, bukan Saulus lagi.
Anda tahu apa yang terjadi kemudian? Bukalah Kitab Suci anda dan bacalah Kisah Para Rasul bab 9 Sampai bab 28, anda akan melihat betapa menjalankan tugas perutusan ala Paulus tidak mudah, banyak kesulitan yang didapat, dan sedikit penghiburan yang tidak sebanding dengan kesulitan yang harus dialami.
Ikut Yesus, barangkali tidak seperti yang anda bayangkan, bahkan jauh dari yang anda inginkan. Mendapat tugas perutusan dari Tuhan bukanlah hal yang mudah. Bisa jadi dalam menjalankan tugas perutusan di dunia ini anda akan merasa amat berat dan lelah, bahkan lebih ekstrimnya anda merasa ditinggalkan Tuhan. Namun, justru di sinilah kita bisa melihat kekuatan kita sebenarnya, sembari menilik kembali keyakinan bahwa Tuhan tidak akan memberikan tugas perutusan yang berat melebihi kemampuan kita.
Harapannya, anda semakin dapat mengenali saat-saat pengalaman berjumpa dengan Tuhan dan menyadari akan utusan khusus apa yang Tuhan bisikkan kepada anda.
Demikianlah saya hanya menyumbangkan sedikit gagasan tentang perubahan diri Saulus menjadi Paulus, dari Utusan Manusia menjadi Utusan Tuhan, dari yang banyak mendapat keuntungan menjadi banyak mengalami kerugian. Maka anda bisa cukup berhati-hati, jika suatu saat anda menerima semacam tugas perutusan dengan hati yang berkobar-kabar, siapa tahu Tuhan akan memberikan sebaliknya, yang membuat anda akan memikirkan bahkan meragukan tentang tugas perutusan yang Ia rencanakan untuk anda. Dan anda tidak bisa berbuat apa-apa selain menunduk, berserah, dan berucap “Tuhan, terjadilah padaku seturut kehendakMu…” (bdk. Luk. 1:38).

Semacam Ayat Penutup
Lalu pergilah Ananias ke situ dan masuk ke rumah itu. Ia menumpangkan tangannya ke atas Saulus, katanya: "Saulus, saudaraku, Tuhan Yesus, yang telah menampakkan diri kepadamu di jalan yang engkau lalui, telah menyuruh aku kepadamu, supaya engkau dapat melihat lagi dan penuh dengan Roh Kudus." Dan seketika itu juga seolah-olah selaput gugur dari matanya, sehingga ia dapat melihat lagi. Ia bangun lalu dibaptis.
(Kis. 9:17-18)

Fr. Yustinus Bambang Harjamto
Seminari Tinggi St. Paulus Yogyakarta
Jl. Kaliurang Km. 7, Kotak Pos 1194, Kentungan, Sleman,Yogyakarta 55011

(Tulisan ini pernah dikirmkan ke suatu majalah di Paroki Bali, PAroki sahabat saya Sheva...)

No comments: