Monday, May 26, 2008

"Rumah Tuhan" Narasi Kapel Markus, Katedral Semarang


Cerita Untukmu...

Di bawah pohon beringin aku duduk, mengambil buku harian mungilku dari tas. Buku ini bergambar singa bersayap, mengaum sembari mencengkeram buku. Ya, sebuah gambar favoritku. Banyak pengalaman dan perjuangan yang telah kugoreskan bersama umat Tuhan dalam buku ini, dan berikut kubagikan sepenggal kisah untukmu ...

Catatan tahun 1985…
Aku terpaku, terdiam, memandang sebuah nisan.
Ya, sebuah nisan indah bertuliskan ”R.I.P. AGUSTINUS JAYAKUSUMA”, seindah kenangan yang beliau tinggalkan untuk kami, para pewaris yang telah menerima tebaran kepercayaan iman dan kebiasaan sembahyang untuk lingkungan ini, Purwosari. Sebagai pengemban tugas Kringleider di lingkungan Poncol Megezen, beliau bersama umat yang masih tersebar luas di sekitar perumahan PJKA (Perusahaan Jawatan Kereta Api) berkumpul dan berdoa, mirip kebiasaan para rasul waktu dulu.
Kini, sepeninggal Mbah Tinus, umat Purwosari berjuang mandiri. Pembangunan perumahan di komplek Patriot dan Kesatria membuat kami bersyukur karena umat Katolik bertambah. Rahmat Tuhan cukup bagi kami...
***
Aku melanjutkan langkahku menyusuri rumput ilalang. Di depan sebuah rumah aku berhenti. Di dalam rumah itu kulihat bebrapa tokoh sedang rembugan. Ada lima orang, Pak Lurah Purwosari, Ketua I LMD Purwosari, Ketua Kamtib (??), Ketua Seksi Agama Islam, dan Ketua Lingkungan Purwosari. Tampaknya ada suatu hal yang sangat penting. Dengan tenang aku mendekati... sejenak terperangah... Ha!! Ternyata sedang ada rapat memindahkan lokasi pembangunan Gereja karena terlalu berdekatan dengan Masjid al-Mujahiddin. Tak kukira proses pembangunan Gereja ini begitu cepat. Panitia Pembangunan Permohonan sudah melangkahkan kaki untuk meminjam tanah TNI AD sebagai tempat ibadah. Memang dulu umat di sini sering meminjam gedung SD Kanisius dan gedung lain untuk Natalan atau Paskahan. Bahkan tidak jarang merayakan bersama dengan saudara Kristen, sehingga bapak Lurah pun mengusulkan supaya umat Katolik membuat tempat ibadah sendiri. Tanah yang seharusnya dipinjamkan ini pun seluas 3.000 m2 yang terletak di sebelah kiri Masjid al-Mujahiddin. Namun, untuk menghindari kemungkinan-kemungkinan buruk, maka para tokoh ini duduk bersama untuk membicarakannya, dan disepakti, tanah untuk calon Gereja dipindah ke tanah TNI AD yang dekat SD Kanisius, seluas 1.000 m2.
Umat begitu antusias membangun Gereja. Tampaknya kerinduan untuk segera memiliki ”Rumah bagi Tuhan” sudah mengebu-gebu. Perjalanan memang tidak mudah, karena para tokoh Katolik harus menghubungi keluarga-keluarga yang berada di sekitar tanah itu untuk bermusyawarah agar pembangunan Gereja tidak bermasalah. Penolakan pembangunan ini pun tetap ada, namun saat didatangi secara individu, mereka pun bisa mengerti dan setuju. Aku salut dengan perjuangan mereka.
Beberapa bulan kemudian, aku datang kembali dan melihat selembar tilgram yang tergolek di atas meja. Tilgram itu berbunyi demikian:

NOMOR : ST/1073/1985 TGL 12 SEPTEMBER 1985

AAA TTK DASAR TTK DUA
SATU TTK SURAT PENGURUS UMAT KATHOLIK KOMPLEK KESATRIA SMG TERTGL 22 JANUARI 1985 TTG PERMOHONAN IJIN MENGGUNAKAN TANAH TNI-AD DIKOMPLEK KESATRIA JL HASANUDIN SMG UTK RUMAH IBADAT / PERTEMUAN TTK

DUA TTK SRT KAZIDAM IV/DIP NO: B/376/V/1985 TGL 20 MEI 1985 TTG SARAN UTK DPT DIIJINKANNYA PENGGUNAAN TNH TNI-AD DIKOMPLEK KESATRIA JL HASANUDIN SMG UTK TEMPAT IBADAT TTK

BBB TTK KOMANDO PRINSIP DPT MENYETUJUI / MENGIJINKAN PENGGUNAAN TNH TNI-AD DI KOMPLEK KESATRIA JL HASANUDIN SMG SELUAS 1000 M2 (25 X 40 M2) UTK PEMBANGUNAN RUMAH IBADAT UMAT KATHOLIK TTK

CCC TTK PENGGUNAAN ATAS TNH TSB DIBERIKAN DGN STATUS HAK PINJAM DAN SE-WAKTUS TNH DIMAKSUD DIPERLUKAN OLEH TNI-AD AGAR SGR DPT DIKOSONGKAN TANPA TUNTUTAN GANTI RUGI TTK

DDD TTK ST INI BLK SBG IJIN PERSETUJUAN DAN LAPORKAN KOMANDO HSL PELAKSANAANNYA TTK

EEE TTK UMP TTK HBS


AN. PANGLIMA KOMANDO
DAERAH MILITER IV /DIPONEGORO
KASDAM


T.B. SILALAHI
BRIGADIR KENDERAL TNI

Begitu gembiranya aku membaca isi tilgram itu... Akhirnya secara resmi perjuangan umat Purwosari untuk meminjam tanah sebagai tempat ibadat telah disepakati, dengan Surat Perjanjian Pinjam Pakai nomor: BTB/434/XII/1985 hari Jumat tanggal 27 Desember 1985. Meskipun hanya sebatas hak Pinjam Pakai, toh aku bisa melihat seri wajah yang tersungging lembut, membuai setiap hati yang memandang puas.


Goresan Tinta 1986
Setelah beberapa bulan berselang, aku kembali lagi ke tempat yang sama, tempat dimana perjuangan rohani yang nyata terwujud dalam sebuah perjuangan mendirikan ”Rumah bagi Tuhan”. Segera tidak lama setelah mendapat ijin untuk membangun Gereja, umat Katolik bergerak untuk membentuk sebuah yayasan dengan nama ”Yayasan Pengurus Gereja Santo Markus” yang berakte notaris Robertus Widyarso Kurniadi, SH, dengan akte nomor: 26 tanggal 15 April 1986. Aku jadi teringat dengan kisah pembaptisanku. Aku mengikuti Yesus karena aku mau berjuang bersama denganNya, menemani dengan setia sang Pewarta Kabar Sukacita yang gigih. Aku mau membangun rumah untuk Tuhan di dalam diriku, supaya Tuhan bisa tinggal dengan nyaman dalam hatiku. Maka rumah itu haruslah baik, pondasinya kokoh, bahkan tak akan ada badai apa pun yang mampu untuk merobohkannya. Untuk membangun rumah itulah aku rela dibaptis, dan mau pergi kemana-mana, turut serta mewartakan Kabar Sukacita.
Kini, umat sedang bersama-sama mempersiapkan jalan untuk ’pembaptisan’ Gereja di lingkungan ini. Dimotori oleh Pengurus Yayasan, umat dilibatkan aktif untuk mengumpulkan dana. Hatiku terharu melihat setiap keluarga menyisihkan uang hasil keringatnya guna iuran tiap bulan. Para Ketua Blok tak putus asa mengkoordinir proses iuran ini, bahkan meminta uluran tangan dari umat Tuhan yang lain pun dilakukan untuk membantu berdirinya ”Rumah Tuhan”. Sekiranya sabda ”Barangsiapa yang menanam dengan bercucuran air mata akan menuai dengan sorak sorai” menggema lembut di tempat ini.

Batu Pertama, 1987
Mataku silau memandang hamparan sinar mentari pagi dibalik pepohonan. Angin berhembus lembut menerpa wajahku, dingin dan sejuk. Aku berkumpul bersama umat lingkungan Purwosari yang tengah berada di sebuah hamparan tanah kosong seluas 1.000 m2. Sayup-sayup kudengar suara memecah keheningan. Tampaknya acara akan segera dimulai. Ya, sesaat sesudah pembawa acara itu selesai, terdengar suara nan bijak menghaturkan semacam sambutan. Setelah semacam sambutan selesai dikumandangkan, bapak Ketua Pamong Lingkungan, dengan atas nama Romo Paroki, meletakkan batu yang pertama kalinya ke tempat yang telah disediakan di tanah lapang itu. Banyak umat yang datang menjadi saksi hidup, ya saksi bagi Gereja yang hidup. Hatiku terhenyak untuk sesaat memandang umat yang mengikuti prosesi ini...
Sinar surya semakin menunjukkan keperkasaannya. Hari makin siang. Tak ada satu pun yang melindungi kami dari sengatan matahari. Mata kami menatap tajam pada sebuah batu yang diletakkan tadi, seakan kami pun menatap tajam pada doa dan harapan dari sebuah prosesi sederhana ini.
Sekian waktu setelahnya, aku hendak berkeliling di sekitar perumahan yang dulu dikenal dengan Housing Family, dekat perumahan Pegawai Kereta Api. Hari itu hari Minggu, hari untuk memuliakan Tuhan. Namun di tengah jalan aku kembali terperangah melihat segerombolan bapak-bapak, ibu-ibu, dan para mudika sedang sibuk membersihkan lahan di area tempat batu pertama itu diletakkan. Ada yang menyapu, membuat lubang, atau mengurug. Semua bersama-sama. ”Hebat!!...” batinku menyeruak. Bagaimana tidak hebat, bila setiap Minggu umat Katolik di lingkungan ini rela berjerih lelah untuk kerja bakti demi berdirinya ”Rumah Tuhan”.
Selain itu, Tuhan pun dirasa mendengarkan permohonan umatNya. Sedikit demi sedikit bantuan datang. Ada yang berupa uang tunai, material, maupun tenaga kerja.
Hatiku menjadi bangga...

”Rumah Tuhan”, 1991
Siapa yang bakal mengira, di tanah yang dulu kosong dan lapang sekarang telah berdiri sebuah bangunan kokoh yang akrab mereka sebut dengan GEREJA. Ya, untuk sekian kalinya aku datang ke tempat ini, tempat umat Tuhan berjuang. Kali ini aku menghadiri sebuah acara yang ada di gedung itu. Acara itu lebih tampak formal dan resmi. Semua berpakaian rapi, bersih. Hanya terlihat beberapa orang yang tampak sibuk berlalu lalang kesana kemari dengan menggunakan semacam tanda pengenal bertuliskan PANITIA.
”Iman itu tidak kelihatan, tetapi terwujud, terlaksana dimana manusia menanggapi tantangan hidupnya setiap hari serta menyadari peranannya sebagai umat beragama maupun sebagai anggota masyarakat” kurang lebih demikian kata-kata yang diucapkan oleh Asisten Perencanaan Kasdam IV/Diponegoro Kol. CPLAd. Paryadi dalam menyampaikan sambutan tertulis dari Pangdam IV/Diponegoro, Mayjen TNI Hariyoto PS yang saat itu berhalangan hadir. Iman tidak kelihatan, begitu pula dengan rasa memiliki dan kebersamaan, juga tidak kelihatan. Namun semuanya bisa dirasakan, dan terwujud dalam perbuatan. Ingat, Iman tanpa perbuatan pada dasarnya mati, dan perbuatan tanpa iman juga mati. Gedung Gereja ini adalah hasil dari perwujudan iman, hasil dari perbuatan atas rasa memiliki dan kebersamaan, maka tidaklah mengherankan para pejabat bersedia datang menghadiri acara ini, antara lain Camat Semarang Barat, Drs. Saman Kadarisman.
Beberapa saat kemudian, aneka sambutan berlalu. Semua mata tertuju pada sebuah batu prasasti. Sesosok orang yang tampak bijaksana melangkahakan kakinya menuju prasasti itu. Dituliskannya suatu tanda di atas sebuah nama bertuliskan ”Rm. L. Wiryodarmojo, Pr, Vikep Semarang”. Batu prasasti menjadi simbol gedung itu resmi berdiri dan di’baptis’. Saat itu pula bangunan diberkati pertama kalinya, agar Allah senantiasa melindungi dan menjadikan tempat itu sebagi berkat bagi sesama.
Selang tidak lama, sebuah tali bunga melati teruntai panjang, dipegang, dan digunting oleh seorang Kolonel yang tadi membacakan sambutan tertulis, wakil dari Pangdam IV/Diponegoro. Tepuk tangan meriah membahana memenuhi Gereja, menelan semua suara yang keluar. Pemotongan untaian tali melati telah menjadi momen penting karena bangunan itu kini telah resmi berdiri di tengah-tengah umat manusia, siap membuat siapa saja yang masuk ke dalamnya menjadi lebih dekat pada Tuhan.”Syukur kepada Allah” ... ucapku dalam hati...

”Blang thung tak thung dlang thung dlang ...” suara gamelan yang khas menggema, mengiringi tarian Jaipong yang dibawakan Happy dan Ita. Suasana Minggu siang tanggal 30 Juni ini begitu meriah, menghibur setiap tamu yang datang. Semua bergembira menyambut berdirinya bangunan baru. Ya, bangunan itu sekarang benar-benar ”Rumah Tuhan”.
Dalam hati aku turut menari, mengikuti irama tarian Tohjoyo-Bugis yang dimainkan mudika Wilayah Lukas. Kegembiraanku makin menjadi-jadi. Perjuangan selama kurang lebih 6 tahun, kini hasilnya sudah kentara.
”Rumah Tuhan” yang baru pun menjadi simbol bersatunya sepuluh lingkungan ke dalam satu wilayah Markus, yaitu lingkungan Abimanyu, Banowati Plombokan, Bulu Lor I, Bulu Lor II, Beringin, Imam Bonjol, Purwosari, Tanjung, Gendingan, dan Pondok Indraprasta...
”Thung...thing thang... thing thung… thing thung…” suara kulintang dari ibu-ibu PKK RW IV Kelurahan Purwosari ini mengalun lembut, membisiki gendang telinga, dan mengiringi gontai kakiku melangkah keluar, meninggalkan kemeriahan acara kebersamaan ini.
Di kala kakiku menginjak pintu gerbang, kutolehkan kepalaku, menatap kembali ”Rumah Tuhan” yang gagah itu, dan kubaca sebuah tulisan dimana namaku terpampang, ”GEREJA SANTO MARKUS”. Hatiku tersenyum seraya berucap ”Terima kasih, kapan-kapan aku main ke sini lagi, menengokmu”.
* * *
Demikianlah, aku membagikan kisah, perjumpaan, dan perjuangan ini untukmu. Semoga kamu semakin dekat di hatiku... kapan-kapan datanglah kemari, dan kita berdoa bersama ...


Teriring salam dan doa,
St. Markus

No comments: