Wednesday, May 28, 2008

DESTRUKSI ATAU KONSTRUKSI KULTURAL ?


(Pemaparan Analisa tentang Parkir Bawah Tanah Alun-Alun Utara Yogyakarta)
Oleh: Yustinus Bambang Harjamto

A.Pengantar
Kurang lebih dua ratus limapuluh tahun yang lalu, Pangeran Mangkubumi (bergelar Sri Sultan Hamengku Buwono I) sebagai ahli arsitektur tradisional Jawa telah mendesain pembangunan Keraton Surakarta dan Keraton Yogyakarta berikut kawasan dan taman yang melingkungi keraton-keraton itu (termasuk alun-alun utara). Beliau menjadi raja pertama di Ngayogyakarta Hadiningrat. Oleh kebanyakan ahli dan masyarakat anonim, beliau dikenal sebagai pendiri kota Keraton Yogyakarta.1
Tidak mengherankan bila Keraton Yogyakarta yang berusia 250 tahun ini menjadi salah satu pusat perhatian budaya Nasional maupun Internasional. Semenjak pemerintahan Sultan Hamengku Buwono X banyak pembangunan atau perubahan dalam kota Yogyakarta yang berkaitan langsung dengan cagar-cagar budaya dan historis, yang menurut beliau tetap menghormati dan mengikuti petunjuk leluhurnya, Sultan Hamengku Buwono I. Perencanaan dan pembangunan parkir bawah tanah alun-alun utara ini pun mendapat penegasan positif dari beliau di tengah-tengah pro dan kontra yang berlangsung (sampai saat ini belum jelas tindak lanjutnya).
Linus Suryadi AG2 dalam bukunya “Nafas Budaya Yogya” mengatakan “Mungkin pembangunan tempat parkir roda empat di kota ini sudah harus memperhitungkan kapasitasnya, sehingga sebuah lokasi parkir mampu menampung kendaraan roda empat dalam jumlah besar. Mungkin akhirnya kota Yogya mesti mempunyai sejumlah lokasi parkir kendaraan roda empat, yang bertingkat-tingkat, supaya tidak makan ruang di banyak tempat tapi justru sesuai dengan efektifitas pembangunan kota tingkat propinsi, yang fungsional di era urbanisme dan modernisme sekarang” (24 Juli 1990). Rupanya, kebutuhan akan pembangunan tempat parkir dirasakan cukup lama, meski baru kemungkinan dan dari seorang pemerhati kebudayaan Yogyakarta.
Berkaitan dengan pembangunan parkir bawah tanah Alun-Alun Utara Yogyakarta yang sempat menjadi wacana pada tahun 2005, kedua kebutuhan ini mempunyai dasar motivasi yang hampir sama, yaitu sebagai tempat tampung kendaraan wisatawan (domestik atau manca) yang berkunjung ke kawasan Keraton Yogyakarta dan Malioboro. Meskipun disinyalir bahwa pembangunan ini berkaitan dengan sumber pemasukan dana Kota Yogyakarta melalui investor dan wisatawan, namun secara khusus penulis akan mengkaji pandangan dari segi kultural.

Rumusan Masalah
Kebudayaan adalah dialektika antara yang kita warisi itu dengan perkembangan peradaban yang kini tengah kita alami3. Kaitannya dengan pembangunan parkir bawah tanah alun-alun utara Yogyakarta yaitu alun-alun utara yang merupakan warisan menjadi lahan empuk untuk membangun kebutuhan tempat parkir yang lebih luas dan teratur karena Kota Yogyakarta menjadi salah satu objek yang mampu menyedot pendatang dari berbagai segi (budaya, pendidikan, kesenian, dsb). Tidak jarang mereka datang dengan membawa aneka kendaraanya, sehingga dirasakan kebutuhan tempat parkir yang memadai. Karena kebutuhan inilah diperlukan pembangunan yang melibatkan teknologi tepat budaya tanpa harus menghilangkan warna nilai, norma, adat dan etos yang telah menjadi ciri khas Kota Gudeg ini.
Karena kajian budaya itu luas, maka konteks kultural yang penulis bahas, berkaitan dengan pembangunan parkir bawah tanah alun-alun utara Yogyakarta ini hanya mencakup:
1.Konsekuensi pada fungsi dasar alun-alun utara Yogyakarta
2.Keutuhan fisik alun-alun utara Yogyakarta dan sekitarnya
3.Kesinambungan nilai filosofis alun-alun utara Yogyakarta dengan poros Keraton-Tugu

1.Konsekuensi pada Fungsi Dasar Alun-Alun Utara Yogyakarta
Alun-Alun Utara Yogyakarta memiliki beberapa fungsi, antara lain sebagai: 4
a.Kawasan resapan air raksasa di Kota Yogyakarta.
b.Kesatuan konstruksi bumi yang menyangga halaman depan bangunan Keraton.
c.Warisan budaya, ruang publik cerminan kosmologi Jawa, lahan untuk mengais rezeki dan juga lahan yang punya nilai ekologis tertentu.
d.Tempat mengumpulkan orang-orang (saat Sekaten, Tahun Baru Jawa, Idul Fitri, dll.)
Menjelang akhir tahun 2005, tahap pembangunan parkir bawah tanah alun-alun utara baru tahap pengeboran sedalam 30 meter untuk melihat struktur dan lapisan tanahnya. Meburut RM H. Tirun Marwito, SH, salah seorang kerabat Keraton yang dikenal cukup concern terhadap pelestarian budaya dan lingkungan, menandaskan bahwa bila bagian bawah tanah alun-alun dibeton, maka sumur-sumur warga sekitar (kedalaman 15 m) akan kesulitan mendapatkan air, padahal diyakini bahwa pembangunan ini akan mencapai lebih dari kedalaman 15 m. Dari persepsi ini, pembangunan parkir bawah tanah dianggap merugikan lingkungan sekitar karena belum sesuai dengan prosedur Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL)-nya.
Dari segi kesatuan konstruksi bumi, pembangunan parkir bawah tanah mungkin akan menuntut suatu pemaknaan ulang alun-alun utara, karena dianggap bahwa bila pembangunan terjadi, maka akan ada ruang yang memisahkan antara alun-alun utara dengan bumi, padahal penyangga itu merupakan satu kesatuan yang utuh.
Kalau begitu, apakah masih dimungkinkan adanya peluang positif dari pembangunan itu ?
Sebagai warisan budaya, alun-alun utara dalam pemanfaatannya sebagai ruang publik digunakan untuk berbagai aktifitas, mulai dari yang bersifat rekreatif hingga kebudayaan, bahkan digunakan untuk lahan mencari nafkah. Bila pembangunan parkir bawah tanah terjadi, maka harapan positif yang bisa dimunculkan berdasarkan antusiasme masyarakat untuk beraktifitas di alun-alun utara yaitu menjadikan tempat tersebut sebagai ruang publik yang lebih aktif. Acara-acara peringatan tradisional, nasional atau agama dapat menjadi lebih terbuka dan dekat dengan rakyat atau pengunjung yang menggunakan parkir bawah tanah. Namun perlu diperhatikan juga agar aktifitas kendaraan yang berlalulang di area parkir bawah tanah tidak mengganggu aktifitas di tempat-tempat penting sekitarnya (asap dan suara kendaraan diharapkan ramah lingkungan).

2.Keutuhan Fisik Alun-Alun Utara Yogyakarta dan Sekitarnya
Alun-alun utara dinilai oleh Sultan HB X sebagai kawasan yang kumuh dan kotor. Hal ini terbukti saat penelitian di kawasan alun-alun utara (Rabu, 6 September 2006), penulis menjumpai: di muka Keraton ada sejumlah gelandangan dengan pakaian kumal dan kotor sedang bermalas-malasan di bawah pohon, sampah-sampah di alun-alun utara dan di dalam Ringin Kurung cukup berserakan, pagar tembok yang mengurung ringin terkesan lusuh, saat sore banyak pedagang (angkringan) yang berjualan di sekitar Keraton, di dekat SD Keputran terdapat kawasan kumuh dengan tumpukan keranjang sampah. Maka sudah sewajarnya bila pihak Keraton mulai memikirkan untuk memperbaiki keadaan ini. Salah satunya dengan membangun parkir bawah tanah yang diharapkan bagian atas alun-alun utara menjadi lebih tertata dan tetap bersih dengan memanfaatkan bagian bawah tanah.
Kebanyakan pakar, budayawan, kerabat Keraton dan pelestari budaya pusaka khawatir akan teradinya kerusakan pada bentuk fisik tempat kebudayaan yang dianggap adiluhung. Dengan kumuh dan kotornya sekitar wilayah alun-alun utara (Keraton, Masjid Agung, Pasar Beringharjo, Malioboro) dapat dianggap sebagai hal yang tidak turut menjaga keutuhan fisik tempat budaya tersebut karena dapat merubah keadaan fisiknya.
Ringin kurung yang bernama Kanjeng Kyai Dewa Daru (barat) dan Kanjeng Kyai Wijaya Daru (timur)5 memiliki nilai filosofis yang dianggap tinggi. Oleh karena itu, bila di bawah alun-alun utara dibangun parkir bawah tanah yang diselimuti bangunan beton, maka pertanyaannya apakah pohon ringin itu dapat bertumbuh dengan baik?. Sebagai warisan budaya hal ini sangat disayangkan bila kelangsungan hidup mereka dapat terancam.
Tampaknya masyarakat dan para pemerhati kebudayaan Yogyakarta tidak ingin merasakan kembali keekcewaan yang pernah terjadi akibat pembangunan kota yang mengorbankan beberapa cagar budaya bernilai. Sebut saja Kawasan Vreedenburgh yang menjadi Taman Pintar, sekeliling Beteng Keraton menjadi kios dan pertokoan, Keraton Mataram Kotagede menjadi pasar, Gandhok Ambarukmo menjadi plaza, Gedung Senisono, Gedung PWI dan Kantor Berita Antara yang dijadikan proyek penataan kawasan Malioboro, dsb.
Pada akhirnya, keutuhan atau ketidakutuhan suatu bentuk fisik bangunan budaya atau sejarah ditentukan oleh manusia dan alamnya sendiri. Sebagai pewaris budaya memang sudah sepantasnya kita memelihara keutuhan fisik yang mendorong keutuhan nilainya. Semua tergantung pada sikap hati yang mau menjaga.

3.Kesinambungan Nilai Filosofis Alun-Alun Utara Yogyakarta dengan Poros Keraton-Tugu
Alun-Alun Utara merupakan bagian yang tak terpisahkan dari poros Keraton-Tugu. Poros Keraton-Tugu (yang melewati Alun-Alun Utara) hakekatnya adalah “Hamemayu Hayuning Bawana” yang mengandung tiga makna menyatu:
a.Keselamatan dunia (alam) hanya dimungkinakan oleh kearifan manusia.
b.Dharmaning Ksatriya adalah menjaga tetap tegaknya pemerintah, bangsa dan negara.
c.Keselamatan manusia hanya dimungkinkan oleh rasa kemanusiaan manusia itu sendiri.
Sebagai pengikat di antara ketiga unsur tersebut, setiap pembangunan Keraton di Jawa selalu berangkat dari konsep Catur Gatra: Keraton, Masjid Agung, Pasar Besar, dan alun-Alun. Seiring dengan perkembangan zaman, konsep ini digunakan pula untuk pembangunan pusat pemerintahan.
Alun-Alun Utara juga dipahami sebagai Keprabon Dalem, artinya melekat pada diri pribadi seorang Sultan –praja cihna sekaligus cihnaning pribadi-.
Di samping itu, dalam konteks kultural-spiritual, poros Keraton-Tugu menggambarkan hubungan vertikal antara manusia dengan Tuhan untuk keimanan dan ketaqwaan dan bukan merupakan hubungan horizontal yang cenderung bersifat material duniawi.6
Pembangunan parkir bawah tanah dikhawatirkan akan mengganggu hubungan ini dan memudarkan makna filosofis yang terkandung di dalamnya, karena bila dibangun, konsekuensi logisnya kawasan Alun-Alun Utara akan menjadi lebih padat dan ramai. Di dalam kepadatan dan keramaian, orang cenderung untuk memusatkan perhatiannya pada kesibukan yang dihadapai, terlebih orang luar daerah yang tidak tahu sama sekali latar belakang dan nilai tempatnya. Sebagai manusia berbudaya sangatlah penting untuk menyadari siapa dan dimana dirinya berada, sehingga mampu bersikap dan bertindak sesuai dengan kearifan lokal yang berlaku di tempatnya berada (baca: Alun-Alun Utara).
Kalau begitu, apakah setiap orang yang datang ke Alun-Alun Utara harus tahu lebih dulu tentang makna filosofis dan historisnya ?
Sebagai sebuah pemahaman ideal, sangatlah penting seseorang tahu latar belakangnya. Namun hal ini menjadi sangat kurang realistis karena banyak pendatang kota DI. Yogyakarta yang tidak ingin tahu menahu tentang hal itu karena mereka lebih cenderung fokus pada hal yang menjadi prioritas dan tanggungjawabnya (studi, kuliah, dsb.), bahkan orang yang asli Kota DI. Yogyakarta pun sedikit yang tahu tentang nilai filosofisnya.
Maka, dengan pembangunan parkir bawah tanah, kawasan Alun-Alun Utara akan sering disambangi oleh orang-orang yang “kuper” dalam memahami nilai kearifan lokal, sehingga semakin lama Alun-Alun Utara sebagai bagian poros Keraton-Tugu akan kehilangan makna dan hanya sebagai tempat aktifitas biasa, bahkan orang melupakan bahwa pernah ada nilai pada hubungan Keraton-Tugu melalui Alun-Alun Utara.
Dengan adanya spekulasi bahwa pembangunan parkir bawah tanah akan mempengaruhi gerak publik warga Yogya, maka perlu dipertimbangkan pula spekulasi positifnya terhadap eksistensi nilai filosofis Keraton-Tugu. Bisa jadi orang yang mengunjungi atau menempati Alun-Alun Utara diajak untuk mengenal dan memahami secara lebih dekat dan terbuka terhadap makna dan peran Alun-Alun Utara sebagai penghubung dan bagian dari poros Keraton-Tugu (Gethok tular). Pemerintah dapat berperan dalam usaha mempertahankan nilai tersebut dengan menggelar acara budaya atau ajakan lain sebagai wujud pemaknaan ulang kawasan Alun-Alun Utara. Penyebaran paham budaya ini akan lebih efektif bila tanpa dikelilingi oleh kerahasiaan dan disampaikan dengan bahasa yang sama dengan bahasa kelompok penerima.7 Dengan demikian keberadaan parkir bawah tanah Alun-Alun Utara tetap menjaga dan mengembangkan nilai kearifan lokal (budaya) setempat.

B.Penutup
Sri Sultan Hamengku Buwono X mengatakan, meski budaya merupakan proses dialektika, tetapi nilai, norma, adat dan etos bangsa masih akan tetap mewarnai dan menjadi ciri khas dalam setiap perkembangan budaya ke depan. Beliau meyampaikan bahwa hal ini bisa dianggap sebagai proses pembelajaran berharga dalam transparansi informasi.
Revianto juga mengemukakan, “Berhasil tidaknya rencana pembangunan lahan parkir bawah tanah Alun-Alun Utara sebenarnya bukan hal yang sangat penting. Namun yang terpenting dari kasus itu adalah sebuah proses pembelajaran bagaimana sebuah warisan budaya diperlakukan.”
Demikianlah, penilaian pembangunan parkir bawah tanah Alun-Alun Utara Yogyakarta sebagai realita destruktif atau konstruktif kultural sangat tergantung dari cara orang memandang dan memperlakukan budaya itu.
Mari kita berproses dalam belajar agar semakin transparan, jujur dan jelas dalam menyampaikan informasi dan memperlakukan budaya.

D. Daftar Pustaka
Suryadi AG, Linus, Nafas Budaya Yogya, Yogyakarta:Bentang, 1994.
Joyomartono, Mulyono, Perubahan Kebudayaan dan Masyarakat dalam Pembangunan, Semarang: IKIP Semarang Press,1991.
Pemerintah Propinsi DI.Yogyakarta.,Keberadaan Alun-alun Utara, Antara Wacana dan Realita, Internet, 2005.
Kedaulatan Rakyat, Parkir Alun-Alun Lor, Internet, 2006
Suara Merdeka, Alun-Alun Termasuk Warisan Budaya, Internet, 2006.

E.Daftar Narasumber
Bpk. Sigit, warga Musikanan8.
Bpk. Haryadi, warga Musikanan.
Simbah Giyanto, Juru Kunci Ringin Kurung, warga Pracimosono9.
NN. Seorang Tukang Becak yang sedang mangkal di Alun-Alun Utara.

No comments: